KINIGORONTALO.COM – Masyarakat Gorontalo ikut harap-harap cemas menunggu hasil dari pemeriksaan permohonan Sidang Praperadilan Kasus Benteng Otanaha. Hal wajar, salah satu perkara ini menyita perhatian publik karena mencuat di ujung-ujung akhir pemerintahan Walikota Gorontalo.
Salah satu kuasa hukum Pemohon Matris Mahmud Lukum yakni Jupri, SH.MH yang juga dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Dalam rilisnya kepada awak media kami menyatakan sangat yakin dan percaya putusan praperadilan berpihak pada timnya.
“Kami sebagai pihak Pemohon tentu mengharapkan Hakim membatalkan penetapan tersangka klien kami. Hal ini sebagaimana dalam surat permohonan kami disandarkan pada alasan-alasan pengajuan Praperadilan. Tanpa mendahului putusan pengadilan, bila kita mengikuti jalannya persidangan Praperadilan kasus Benteng Otanaha sangat jelas dalam fakta-fakta persidangan ada prosedur yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” Ungkapnya.
Jupri, SH.MH kemudian mengingatkan sejumlah Yurisprudensi atau putusan pengadilan sebelumnya, yang memutus batalnya penetapan tersangka disebabkan karena Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak diberikan kepada Terlapor.
Mengenai SPDP yang tidak diberikan kepada Terlapor oleh Penyidik. Berujung pada pembatalan penetapan tersangka sudah ada beberapa putusan pengadilan. Pertama, Putusan Nomor 7/Pid.Pra/ 2022/ PN.Gto. Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Gorontalo dalam pertimbangannya menyatakan bahwa karena SPDP tidak diserahkan oleh Termohon kepada Pemohon (Terlapor) namun diserahkan kepada seseorang yang merupakan tetangganya tetapi tidak pernah dihadirkan di muka sidang pengadilan oleh Termohon. Sehingga pemberitahuan tersebut tidak dapat diterima secara hukum.
Kemudian dalam pertimbangan Hakim yang lain menyatakan bahwa karena tidak ada Bukti yang diajukan oleh Termohon mengenai pemberitahuan oleh Termohon kepada Pemohon sebagaimana disyaratkan Pasal 109 ayat 1 KUHAP dan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 serta Pasal 14 Perkap Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, padahal menurut Hakim Praperadilan hal tersebut sangatlah esensial karena SPDP tersebut dalam prespektif Terlapor: “Penerbitan Sprindik dan SPDP menandakan suatu proses hukum atau suatu proses yang diduga kuat peristiwa tindak pidana sudah dimulai dan terlapor dapat mengupayakan pembelaan dengan mengajukan keterangan, bukti atau saksi untuk membuat terang suatu tindak pidana, tanpa melakukan proses pembuktian”.
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut. Hakim Praperadilan dalam Putusan Nomor 7/Pid.Pra/2022/PN.Gto mengabulkan Permohonan Pemohon untuk menyatakan penetapan tersangka adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kedua, Putusan Nomor 27/Pid.Pra/2024/PN.Mdn. Adapun dalam pertimbangannya. Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Medan menyatakan bahwa selama beberapa kali Termohon menerbitkan Sprindik, tidak pernah sekali pun memberikan SPDP kepada pihak Pemohon sebagai norma keharusan yang ditentukan dalam Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015. Dalam pertimbangan berikutnya menyatakan bahwa sangat jelas norma yang diatur dalam Putusan MK di atas adalah bersifat keharusan atau kewajiban yang mesti dilakukan oleh penyidik dalam alur tindakan penyidikan sebagai norma yang diperluas dari KUHAP. Artinya tidak membuka ruang kepada Penyidik untuk membangun tafsir berbeda apalagi mempertentangkan norma hukum dimaksud. Manakala penyidik melakukan tafsir berbeda dari norma tersebut maka telah mengesankan bila penyidik itu melakukan tafsir yang bersifat pengujian norma undang-undang yang jelas hal ini tidak diperbolehkan bahkan bertentangan dengan konstitusi itu sendiri.
Kuasa hukum Pemohon kemudian kembali mengingatkan bahwa berdasarkan putusan praperadilan di atas, maka kami memohon kepada Hakim Yang Mulia untuk mengabulkan permohonan kami. Sebagaimana dalam pertimbangan Hakim Praperadilan di Pengadilan Negeri Gorontalo dan Pengadil