Oleh DR. Rusmulyadi.SH.MH
Pengajar Hukum Tata Negara FH-Unisan.
KINIGORONTALO.COM – PARTAI politik memang tak pernah sepi dari berbagai ragam persoalan dan kejutan. Rupa – rupa masalah terus mengemuka, mulai dari dampak Presidential Threshold, Parliamentary Threshold, Koalisi parpol, hingga isu yang sangat politis (aktual) efek elektoral atau limpahan suara dari pendukung Jokowi sebagai energi elektabilitas partai. Ini berita boleh dibilang menjadi ‘boom” partai politik hari – hari terakhir ini.
Kompleksitas persoalan yang membutuhkan kehadiran dan kerja nyata partai politik terutama dalam fungsi sebagai sarana pengelola konflik. Arena ini dalam konteks kekinian, keberadaan partai politik di negara demokrasi – pluralis (majemuk) seperti Indonesia menjadi sangat relevan.
Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi riil yang ada, realitas sosiologis wilayah nusantara yang banyak diwarnai dengan konflik agraria. Setting sengketa pertanahan ini faktanya pecah di mana-mana mulai dari Wadas, Rempang, hingga Lampung.
Semua konflik – konflik pertanahan itu, sesungguhnya diharapkan adanya peran aktif anggota DPRD – DPR untuk menyuarakan aspirasi rakyat jika berhadapan dengan kekuasaan (investor / pelaku usaha). Sehingga rakyat tidak merasa sendiri “mempertaruhkan” nasibnya di hadapan negara.
Dengan demikian, keberadaan partai politik sebagai “mesin pencetak” regenerasi kepemimpinan benar-benar dirasakan manfaatnya dan memberikan contoh serta kontribusi terbaik bagi pembangunan sumber daya manusia.
Di samping itu, diharapkan pula memperjuangkan terwujudnya berbagai kebijakan strategis dalam rangka merealisasikan kesejahteraan rakyat. Secara substansi, partai politik menerjemahkan politik sebagaimana didefinisikan oleh Aristoteles yaitu memperjuangkan “kebaikan bersama” secara sistematis dan terstruktur.
Tatkala fungsi-fungsi tersebut ditempatkan bahwa partai politik sebagai wahana yang mengatur masyarakat pada kesadaran, pemahaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar itulah, pendidikan politik yang baik adalah masyarakat paham hak-hak dan kewajiban politiknya sehingga dapat terhindar atau diminimalisasi munculnya “golput”.
Sebaliknya warga negara dengan antusias datang berbondong-bondong ke TPS, berpartisipasi memberikan suara hak politiknya dengan baik yaitu menggunakan haknya sebagai warga negara yang diakui secara konstitusional oleh negara.
Namun, sayangnya fungsi sosialisasi yang diikhtiarkan partai-partai politik hanya untuk memperoleh dukungan luas masyarakat sehingga yang diupayakan hanya semata-mata efek elektoralnya.
Bukan ikhtiar memperjuangkan kepentingan umum, memasyarakatkan ide, visi, dan kebijakan strategis kepada konstituen agar mendapatkan “feedback” berupa dukungan masyarakat.
Peran parpol harusnya semakin intens, dekat, dan mengagregasi kepentingan publik secara nyata, terutama momentum yang strategis bagi parpol dan publik saat ini, yaitu adanya momentum politik lima tahunan di 2024 yang semestinya parpol turut berperan aktif menjaga kualitas demokrasi dan menemukan pemimpin nasional melalui regularitas pemilu yang sudah diatur dan ditetapkan konstitusi.
Oleh sebab itu, partai dapat menjadi saluran yang tepat saat konflik muncul dan sekaligus menjadi pengontrol efektif dalam sistem politik. Partai moderen wajib dibangun melalui tahapan kaderisasi.
Bukan dengan proses “instan” yang menutup prasyarat kompetensi dan kematangan kualitas seorang pemimpin.
Bagaimanapun ada tahapan yang harus dijalankan secara integratif, yaitu merekrut orang untuk bergabung, membina kader menjadi loyalis, baru kemudian “mendistribusikan” kader ke dalam posisi atau jabatan publik. Partai perlu langkah progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan terjebak pada rencana pragmatis figur politik tertentu. Lebih dari itu, partai juga dituntut memiliki kecermatan dalam merealisasikan platform partai, bukan terus menerus terkungkung dalam jerat kekuasaan yang menyesatkan.