“Menelusuri Kehidupan Warga Pantai Botutonu’o dan Hubungannya dengan Pariwisata”
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Pantai Botutonu’o, pesona alamnya langsung membuat
saya terpanah dan ada nuansa panas sekali juga. Hamparan pasir putih dan laut biru memikat, tetapi
di balik keindahan itu, ada kehidupan warga lokal yang erat terkait dengan pantai ini. Dalam kunjungan
saya, saya bertemu dengan beberapa warga yang memiliki ikatan mendalam dengan pantai ini. Mereka
tidak hanya mengandalkan keindahan pantai sebagai sumber penghidupan, namun juga peninggalan
nenek moyang yang telah mereka lestarikan selama bertahun-tahun. Dari percakapan dengan warga
lokal yang tinggal di sekitar pantai, seperti para bapak-bapak yang random mancing di sore hari tapi
profesi mereka bukan nelayan, ibu-ibu pemilik warung, hingga bapak-bapak yang menyewakan gazebo
atau pondok, terungkap banyak hal tentang bagaimana pantai ini dikelola, apa peran pemerintah, serta
tantangan yang mereka hadapi.
Pantai yang Dimiliki Warga, Warisan Turun-temurun
Satu hal yang segera saya sadari dari percakapan dengan warga adalah bahwa Pantai
Botutonu’o bukanlah pantai biasa yang sepenuhnya dikelola pemerintah. Sebagian besar tanah di
sekitar pantai ini ternyata dimiliki oleh warga lokal, yang kebanyakan berasal dari keluarga dengan
marga Hulopi dan Kamba. Ini bukan sekadar tanah yang mereka tempati, tetapi juga tanah yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Saya berbincang dengan seorang nelayan yang rutin mencari ikan
di sekitar pantai. Ia bercerita bahwa keluarganya sudah lama tinggal di pesisir ini, bahkan jauh sebelum
Pantai Botutonu’o dikenal sebagai destinasi wisata. Bagi mereka, pantai ini bukan sekedar tempat
bekerja, tapi juga bagian dari kehidupan mereka. “Pantai ini milik kami.Kami lahir dan besar di sini,
kami hidup di tepi laut, dan kami memperlakukan tempat ini seperti rumah kami,” kata Bapaknya
tersenyum bangga.
Peran Pemerintah yang Terbatas
Dalam wawancara, satu pertanyaan yang selalu saya tanyakan kepada warga adalah tentang
peran pemerintah, terutama dalam hal pengelolaan wisata. Jawabannya hampir sama: keterlibatan
pemerintah memang ada, tetapi tidak terlalu signifikan. Seorang ibu pemilik warung yang sudah
berjualan selama beberapa tahun di pantai ini mengaku bahwa ia jarang melihat kehadiran
pemerintah, kecuali dalam beberapa kesempatan khusus.
“Pernah ada yang datang dari Dinas Pariwisata, tapi cuma untuk cek-cek saja. Sejak itu, kami hampir
tidak pernah bertemu dengannya lagi,” kata ibunya. Pemerintah mungkin terlibat dalam pengaturan
kebijakan, tetapi dalam kenyataan sehari-hari, warga lokallah yang menjaga kebersihan pantai,
mengelola tempat, dan melayani wisatawan. Bahkan, beberapa infrastruktur sederhana seperti
pondok untuk wisatawan dibangun dan dikelola langsung oleh warga.
Konflik dan Insiden: Gotong Royong sebagai Solusi
Terkait keamanan dan masalah di sekitar pantai, saya mendengar beberapa cerita menarik
tentang bagaimana warga bekerja sama ketika menghadapi masalah. Salah satu insiden yang paling
mencolok adalah konflik antara warga dan pemerintah terkait kebijakan penghapusan nama Pantai
Botutonu’o dari peta pariwisata. Bagi warga, ini adalah isu besar karena bisa berdampak pada jumlah
wisatawan yang datang ke pantai mereka. Namun, dalam hal keamanan wisatawan, warga mengambil
pendekatan yang lebih praktis. Ketika terjadi kecelakaan atau insiden kecil di pantai, seperti turis yang
tersesat atau perkelahian kecil, warga langsung turun tangan. Mereka menganggap tanggung jawab ini
sebagai bagian dari kehidupan. “Kamilah yang menjaga pantai ini, jadi kalau ada masalah, kami yang
pertama menyelesaikannya sebelum yang lain datang,” kata seorang bapak pemilik gazebo.
Perdebatan QRIS: Antara Modernisasi dan Kebutuhan Sehari-hari
Namun, tantangan baru muncul terkait dengan usulan penerapan QRIS sebagai metode
pembayaran di Pantai Botutonu’o. Warga, yang pada awalnya tidak memahami QRIS, akhirnya
menolak penggunaan sistem pembayaran digital tersebut. Alasannya cukup sederhana: akses untuk
mencairkan uang dari bank sangat terbatas. Salah seorang warga mengungkapkan kerisauannya,
“Kalau orang cuma sewa tempat seharga 50.000, masa uang itu harus ditarik dari ATM atau bank? Kami
butuh uang tunai untuk kebutuhan sehari-hari.” Akses yang terbatas ke bank dan ATM membuat warga
merasa metode digital ini akan menyulitkan mereka, terutama dalam memenuhi kebutuhan
mendesak.
Ketakutan Terhadap Pengambilalihan oleh Pihak Asing
Salah satu kekhawatiran terbesar yang saya rasakan dari warga adalah terkait kemungkinan
pantai ini diambil alih oleh pihak asing, terutama investor atau turis luar negeri. Banyak dari mereka
takut jika pantai yang mereka cintai ini jatuh ke tangan orang luar, kehidupan mereka bisa berubah
drastis. Saya bisa merasakan rasa takut itu saat berbincang dengan seorang warga yang telah lama
mengelola pondok di pantai. “Kalau pantai ini dijual ke orang asing, kami bisa kehilangan semuanya.
Ini bukan hanya soal uang atau pariwisata, ini tentang rumah kami,” ucapnya dengan nada serius.
Mereka khawatir bahwa jika pantai ini diambil alih oleh investor luar, mereka mungkin tidak lagi
memiliki akses yang sama terhadap tanah dan laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.
Hal ini membuat mereka lebih berhati-hati dalam menyambut setiap upaya investasi asing, meskipun
di sisi lain, mereka juga ingin melihat pantai mereka berkembang.
Dengan begitu, Pantai Botutonu’o tidak hanya menjadi tujuan wisata tetapi juga bagian dari kehidupan
masyarakat lokal yang melestarikan warisan leluhurnya.Meski pemerintah mempunyai peran, namun
pengelolaan utama dilakukan oleh masyarakat yang menjamin kelestarian pantai. Tantangan baru
seperti penggunaan QRIS dan ketakutan akan pengambilalihan asing membuat mereka semakin sulit
mempertahankan identitas dan tanahnya.Bagi masyarakat, pantai ini tidak hanya menjadi objek wisata
tetapi juga simbol perjuangan melindungi hak dan keberlanjutan hidup dalam konteks pariwisata
modern dan juga walaupun dalam proses wawancara pada warga lokal mereka hampir semua tidak
ingin ,nama asli mereka diketahui tapi hanya marga mereka saja. FBM