Salah satu teori yang saya gunakan untuk penelitian skripsi adalah teori difusi inovasi. Tentu, saya tidak meneliti petani jagung seperti yang dilakukan oleh Everett M. Rogers. Saya menganalisis tentang inovasi program di salah satu stasiun radio komunitas di Surabaya. Sasaran dari inovasi tersebut adalah para pelajar di Surabaya. Inovasi tersebut dinyatakan berhasil atau tidak berhasil berdasarkan penerimaan program tersebut di telinga para audiens, yakni pelajar-pelajar di Surabaya. Hasil dari 10 hari berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lainnya, menyebarkan 136 kuesioner, kemudian berbuah pada hasil bahwa program tersebut berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan para pelajar. Hasil dari penelitian saya yang digoreng di meja sidang pada tahun 2015 tersebut membuat dosen-dosen di ruang sidang berujar, “Wah, ternyata programnya berhasil ya. Temuan ini bisa dicontek oleh bisnis-bisnis radio lain yang hampir redup untuk bangkit kembali”.
Penelitian skripsi saya selesai pada tahun 2015. Pada tahun 2018, seorang adik kelas menyontek skripsi saya dan menganalisis tentang inovasi program radio yang baru dengan sasaran yang sama, tetapi dari stasiun radio yang berbeda. Sebelumnya, di tahun 2015, saya menganalisis tentang program di radio komunitas di Surabaya. Sementara itu, adik kelas saya menganalisis tentang program di salah satu radio komunitas di Bogor. Sasaran saya adalah anak-anak muda di area perkotaan, sementara sasaran adik kelas saya adalah para petani di salah satu desa di Kabupaten Bogor. Hasilnya? Tidak sama. Temuan saya dinyatakan ‘berpengaruh dan signifikan’, sementara temuan adik kelas saya adalah ‘tidak berpengaruh dan tidak signifikan’.
Ternyata variabel-variabel yang saya gunakan pada tahun 2015, di stasiun radio komunitas di Surabaya, dan disasarkan kepada anak-anak muda, mendapatkan hasil yang tidak sama dengan penelitian adik kelas saya. Penelitian adik kelas saya dilaksanakan pada tahun 2018, di radio komunitas di Bogor, yang ditujukan untuk para petani-petani di kabupaten di Jawa Barat tersebut. Adik kelas saya ketakutan bertemu dengan dosen pembimbing karnea penelitiannya dianggap tidak berpengaruh dan tidak signifikan, padahal variabel yang digunakan sama persis dengan penelitian saya.
“Mengapa penelitian Kak Gita berhasil, tetapi penelitian saya gagal?”
Asumsi ‘berhasil dan gagal’ tersebut telah mengakar dan menjadi sebuah kultur di dalam kegiatan penelitian. Padahal, penelitian tersebut tidak bisa dinyatakan gagal. Penelitian tersebut adalah kunci untuk melahirkan penelitian-penelitian selanjutnya, sehingga penelitian dapat membawa perubahan yang signifikan untuk masa depan.
“Mengapa penelitian Kak Gita berhasil?”
Penelitian saya bukan berhasil. Saya hanya melihat penelitian terdahulu. Ternyata penelitian terdahulu telah menganalisis tiga variabel yang berakhir pada temuan bahwa variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan pendengar. Anggap saja, penelitian pada tahun 2013 adalah penelitian tentang pengaruh dari variabel frekuensi mendengar dan variabel brand radio terhadap peningkatan pemahaman tentang informasi yang diberikan oleh radio komunitas. Variabel tersebut dinyatakan tidak berpengaruh dan tidak signifikan. Maka, pada tahun 2015, saya menggunakan variabel yang lain untuk menganalisis peningkatan pemahaman tentang informasi yang diberikan oleh radio komunitas. Saya menggunakan variabel karakteristik inovasi, yaitu karakteristik dari program siaran. Saya menggunakan kuesioner terbuka, dimana responden dapat menjawab seluas mungkin tentang hal-hal yang mereka pahami tentang inovasi tersebut.
Lalu, mana yang benar? Apakah penelitian saya, penelitian tahun 2013 sebagai penelitian terdahulu, atau penelitian adik kelas saya tahun 2018?
Saya selalu mengesampingkan penelitian adalah temuan kebenaran dan menyalahkan penelitian sebelumnya. Penelitian berfungsi sebagai cara untuk membangun pengetahuan-pengetahuan yang baru dengan temuan-temuan yang baru. Bagi saya, tujuan dari penelitian adalah sebuah proses untuk mencari jawaban. Jawaban tersebut dapat menjawab permasalahan dari sebuah fenomena maupun perilaku yang terjadi di lapangan. Untuk skala yang lebih besar dan luas, penelitian berfungsi untuk menguji dan membuktika teori maupun metodologi yang baru. Oleh sebab itu, penelitian harus dilakukan dengan sistematis, sehingga hasil dari penelitian tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah dan dipertanggungjawabkan.
Oleh sebab itu, apabila penelitian ternyata tidak menemukan hubungan, pengaruh, dan lain sebagainya, padahal telah dikerjakan secara sistematis, maka itulah jawaban dari permasalahan penelitian. Penelitian tersebut tidak gagal, hanya saja jawaban dari permasalahan penelitian tersebut adalah ‘tidak terdapat hubungan’, ‘tidak terdapat pengaruh’, dan ‘tingkat presentasenya sangat rendah’.
Berbicara tentang penelitian yang gagal, sebenarnya inovasi tercipta dari sebuah kegagalan. Teori difusi inovasi tidak serta merta tercipta hanya dalam waktu satu tahun. Everett M. Rogers membutuhkan sembilan tahun untuk meneliti jagung hybrida yang mengawinkan antara jagung heterozigot dan jagung homogen. Hasil dari inovasi jenis jagung terbaru tersebut pada akhirnya melahirkan teori difusi inovasi yang masih digunakan hingga saat ini oleh para peneliti muda dari berbagai bidang ilmu. Rogers berkali-kali menemukan kegagalan, mengevaluasi temuan-temuan yang tidak signifikan, tidak ekonomis, dan ketidakberhasilan lainnya hingga mencapai titik penelitian yang signifikan dan ekonomis.
Apakah penelitian-penelitian Rogers yang tidak berhasil sebelumnya termasuk dalam peneletian yang gagal? Tentu saja tidak. Para periset seperti Rogers melakukan penelitian pertama. Penelitian tersebut menemukan sesuatu yang baru, yaitu metode penanaman jagung yang dilakukan oleh petani di Iowa tidak berhasil. Ya, ketidakberhasilan para petani jagung tersebut telah menjadi sesuatu yang baru di dalam temuan penelitian Rogers.
Pada akhirnya, Rogers pun menganalisis lebih lanjut, bagaimana caranya agar para petani jagung tersebut menemukan metode yang tepat, di tempat yang tepat, menggunakan campuran bahan-bahan untuk menumbuhkan jagung hybrida mereka, sehingga mencapai kesejahteraan finansial mereka ke depannya. Kegagalan dan ketidakberhasilan di titik awal akan melahirkan argumentasi baru. Inovasi akan terus berkembang dan tentu saja tidak stuck di satu titik itu saja.
Sebuah kalimat terbersit di dalam benak saya ketika teman dari jurusan yang menghasilkan apoteker-apoteker itu berkata, “Bagaimana kalau penelitian saya gagal? Saya takut tidak bisa menghasilkan sesuatu dari kegiatan di laboratorium. Campuran-campuran bahan A + B ini gagal, dan aku harus bagaimana ya supaya berhasil?”. Saya mengernyitkan kening ketika dia berkali-kali mengatakan gagal. Bukankah itu tujuan dari penelitian? Kita meneliti, kemudian menemukan jawabannya. Berhasil atau gagal. Lalu, penelitian selanjutnya akan dilakukan, dengan rumusan masalah “Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan berhasil atau gagal?”, “Mengapa kegagalan atau keberhasilan terjadi?”, “Apakah terdapat faktor X dan Y sehingga menyebabkannya gagal atau berhasil”, dan seterusnya.
Sebagai salah satu peneliti di bidang lingkungan, kultur yang terjadi di dalam lingkungan sehari-hari adalah “penelitian yang baik adalah penelitian yang berhasil”. Dampaknya, karena keterbatasan uang, waktu, dan tenaga untuk meneliti, maka manipulasi data mulai terjadi. Perubahan data tersebut dilakukan agar hasil penelitian yang ‘tidak ekonomis’ berubah menjadi ‘sangat ekonomis’. Hasil yang ‘tidak signifikan’ berubah menjadi ‘sangat signifikan’. Pasalnya, jika penelitian tidak mencapai ‘sangat ekonomis’ dan ‘sangat signifikan’, maka penelitian tersebut dianggap gagal. Entah dianggap gagal oleh peneliti, atau dianggap gagal oleh para penguji yang menginginkan ‘harus signifikan’.
Sebagai peneliti, berkali-kali saya menemukan ‘tidak signifikan’, ‘tidak berpengaruh’, dan ‘tidak berhubungan’ di dalam pengujian variabel independen dan dependen. Lalu, kalau tidak berpengaruh, tidak berhubungan, apakah penelitian tersebut gagal? Tentu saja tidak. Lantas, mengapa di penelitian-penelitian di luar negeri, penelitian tersebut dianggap berhasil? Tentu saja berhasil. Penelitian tersebut ditujukan untuk populasi di luar negeri, bukan di dalam negeri. Di dalam negeri pun, berbeda kota, kecamatan, dan kelurahan saja sudah cukup mempengaruhi perubahan dari hasil temuan penelitian di lapangan.
Bukankah kita menyadari bahwa masyarakat di dunia ini heterogen? Masyarakat pastinya memiliki pemikiran yang berbeda-beda, kebutuhan dan keinginan yang beragam. Tidak mungkin kemiripan dari temuan di Gorontalo akan sama persis dengan temuan di Jakarta, terutama untuk penelitian di bidang sosial dan humaniora. Maka itu, tentunya terdapat perbedaan hasil penelitian yang satu dengan yang lainnya. Metode Anda sudah benar, teori Anda sudah benar, operasionalisasi variabel pun sudah benar, bahkan sudah diuji validitas dan realibilitas. Lantas, mengapa penelitian di Gorontalo menghasilkan ‘tidak berpengaruh’, sementara di Jakarta ‘sangat berpengaruh’? Apakah Anda salah?
Barangkali bukan kita yang salah. Bukan metode yang salah. Bukan pula operasionalisasi data yang salah. Tapi sistem dan kultur yang mengharuskan bahwa semua penelitian harus bersifat homogen, alias harus ‘memiliki hubungan, memiliki pengaruh, ekonomis, signifikan’ ini yang harus disalahkan di dalam perjalanan penelitian. Bagi saya, yang terpenting adalah penelitian dilakukan dengan runut dan sistematis. Jika permasalahan adalah A, maka metode dan konsep yang digunakan juga harus mengikuti permasalahan A. Jangan sampai dicampurkan dengan metode dan konsep lain. Jika diselesaikan dengan metode dan konsep yang lain, malah bukan temuan yang dihasilkan, melainkan masalah baru lagi yang akan semakin mblunder ke depannya.
Jika penelitian dilakukan dengan sistematis dan runut sesuai dengan rumusan permasalahan, maka temuan tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah. Temuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan untuk ke depannya. Ketika meneliti, setidaknya pikirkan bahwa penelitian yang akan dituliskan oleh diri kita akan dijadikan referensi oleh adik-adik kelas, bahkan oleh peneliti-peneliti di luar sana, sehingga diri kita akan bertanggungjawab dengan penelitian yang dikerjakan.
Gita Juniarti
Dosen dan peneliti di Universitas Negeri Gorontalo