KINIGORONTALO.COM – Di tengah derasnya arus globalisasi, kearifan lokal menjadi jangkar yang menjaga identitas budaya bangsa. Nilai, norma, dan praktik yang telah diwariskan melalui sejarah panjang masyarakat ini bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi fondasi yang relevan dalam menghadapi perubahan zaman. Di era digital yang serba cepat, kearifan lokal berperan sebagai penyeimbang, memastikan akar budaya tetap kokoh sekaligus adaptif terhadap dinamika global.
Kearifan lokal memberikan landasan moral dan etika yang melintasi berbagai aspek kehidupan: pendidikan, ekonomi, lingkungan, hingga pemerintahan. Nilai-nilai seperti gotong royong, kejujuran, toleransi, dan keadilan, meski berakar pada tradisi, tetap relevan sebagai pedoman membangun masyarakat yang harmonis. Selain itu, kearifan lokal membentuk identitas budaya unik yang menjadi kebanggaan sekaligus modal sosial dan ekonomi, misalnya melalui pariwisata dan produk kreatif berbasis budaya lokal.
Namun, mengangkat kearifan lokal bukan berarti menolak modernitas. Justru, digitalisasi membuka peluang besar untuk mendokumentasikan, mempromosikan, dan merevitalisasi tradisi ke tingkat global. Dengan begitu, kearifan lokal menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa depan, memperkuat masyarakat menghadapi tantangan tanpa kehilangan akar budaya mereka.
CRAM: Kearifan Lokal sebagai Pilar Manajemen Mutu
Dalam manajemen mutu perguruan tinggi, integrasi kearifan lokal dapat memperkuat nilai-nilai dasar organisasi melalui pendekatan CRAM (Culture, Relevance, Accountability, Mission). Pendekatan ini, yang diatur dalam Peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor 14 Tahun 2023, menawarkan kerangka holistik untuk menjaga keberlanjutan kualitas pendidikan tinggi.
1. Culture: Budaya sebagai Pondasi
Budaya merupakan elemen utama dalam membangun organisasi yang inovatif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Di Bugis-Makassar, nilai-nilai seperti sipakatau (saling menghormati), sipakalebbi (saling menghargai), dan sipakainge (saling mengingatkan) menanamkan rasa hormat, kerja sama, dan integritas di lingkungan akademik. Sementara di Gorontalo, falsafah Adati hula-hula’a to syara’, syara’ hula-hula’a to Qur’an (adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Qur’an) menegaskan pentingnya moralitas dan etika dalam menciptakan budaya organisasi yang harmonis dan inklusif.
2. Relevance: Menjawab Kebutuhan Zaman
Relevansi menjadi tolok ukur apakah program pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat sesuai dengan kebutuhan lokal dan global. Di Bugis-Makassar, prinsip Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata (kerja keras membawa berkah) mendorong perguruan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang tangguh, kompeten, dan berakar pada nilai budaya. Di Gorontalo, semangat hulunga (gotong royong) dapat diimplementasikan dalam pengembangan program studi yang memberdayakan potensi lokal, seperti pelestarian budaya dan inovasi berbasis sumber daya daerah.
3. Accountability: Akuntabilitas sebagai Komitmen
Dalam budaya Bugis-Makassar, nilai amaccang (kebijaksanaan) dan awaraningeng (kejujuran) menjadi landasan akuntabilitas, menegaskan bahwa setiap tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sejalan dengan budaya Gorontalo yang mengedepankan bonggo momulutahu (bertanggung jawab dan jujur). Perguruan tinggi harus transparan dalam pengelolaan sumber daya, pelaporan kinerja, dan memastikan kualitas yang dapat diandalkan.
4. Mission: Mengarahkan Misi ke Masa Depan
Nilai panngadereng (pedoman hidup) dalam budaya Bugis-Makassar dan konsep lamuliyo to pololi lo lipu (membangun negeri) dalam budaya Gorontalo mencerminkan visi perguruan tinggi yang tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik, tetapi juga kontribusi nyata terhadap pelestarian budaya dan pembangunan masyarakat. Misi perguruan tinggi harus mencerminkan keseimbangan antara kompetensi global dan karakter lokal, menjadi agen transformasi sosial yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Menjadi Pilar Keberlanjutan
Mengintegrasikan kearifan lokal dalam konsep manajemen mutu memberikan nilai tambah yang signifikan. Kearifan lokal tidak hanya menjadi landasan etis, tetapi juga memperkuat budaya mutu yang mendukung keberlanjutan, transparansi, dan relevansi program dengan kebutuhan masyarakat. Dengan cara ini, perguruan tinggi tidak hanya memenuhi standar formal tetapi juga membangun identitas yang kuat sebagai institusi yang relevan secara lokal dan kompetitif secara global.
Menyinergikan kearifan lokal dengan konsep CRAM adalah langkah strategis untuk memastikan perguruan tinggi tetap menjadi penjaga tradisi, sekaligus pelopor perubahan yang berdaya saing tinggi di tingkat internasional. Dengan melibatkan nilai-nilai luhur budaya Bugis-Makassar dan Gorontalo, perguruan tinggi Indonesia dapat menjadi garda terdepan dalam membangun bangsa yang berkarakter, berdaya saing, dan berkelanjutan.