Kekerasan dan Senioritas Yang Mengakar Di Organisasi

Berita Kampus884 Dilihat

 

Ahmad A Hasan, Mahasiswa Semester 4 yang berkecimpung di salah satu organisasi intra kampus, yakni Himpunan Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, UNG.

 

KINIGORONTALO.COM – Dalam beberapa tahun terakhir kita sering mendengar kata kekerasan dan perpeloncoan,mau itu di lingkungan masyarakat atau di lingkungan kampus.

 

Dalam pandangan saya, perpeloncoan merupakan suatu proses.Ada permulaannya, masa berlangsungnya,dan saat berakhirnya. Orang yang bertanggung jawab mengorganisasi acara di sebut pledge master. Seringkali,segenap anggota kelompok yang masih aktif ikut ambil bagian dari pelaksanaan acara,seperti menyuruh calon-calon anggota menegak sejumlah banyak fakta-fakta remeh mengenai fraternitas atau sororitas itu.

 

Dibeberapa perguruan tinggi, proses pelantikan anggota dilaksanakan dalam rentang waktu empat minggu, sementara di tempat lainnya, proses itu diselenggarakan selama satu semester penuh.

 

Saya yakin, perpeloncoan adalah suatu proses yang berlandaskan suatu tradisi yang digunakan banyak kelompok untuk melestarikan hierarki (jenjang sosial, kasta) dalam kelompok mereka.

 

Kegiatan-kegiatan itu bisa sangat meletihkan, mempermalukan, merendahkan, melecehkan,dan mengancam.

 

Dari kacamata sosiologi hukum, kasus ini dapat dilihat sebagai cerminan dari beberapa fenomena sosial dan hukum yang kompleks, di antaranya:

 

  1. Budaya Kekerasan dan Senioritas: Tradisi kekerasan dan senioritas dalam kegiatan pengkaderan mahasiswa, meskipun tidak selalu eksplisit, masih marak terjadi. Hal ini menunjukkan lemahnya kontrol sosial dan penegakan aturan dalam lingkungan kampus, serta mengakarnya budaya patriarki dan feodalisme yang gemar menggunakan kekerasan untuk menunjukkan dominasi.
  2. Ketimpangan Kekuasaan: Struktur hierarki dalam organisasi kemahasiswaan, dengan senioritas yang memiliki kuasa atas junior, membuka celah penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Lemahnya mekanisme pelaporan dan perlindungan bagi junior memperparah situasi ini.
  3. Objektifikasi Mahasiswa: Maba seringkali dilihat sebagai objek yang harus “dibentuk” dan “didisiplinkan” melalui berbagai ritual dan kegiatan pengkaderan. Pandangan ini mengabaikan hak dan martabat individu, serta berpotensi memicu tindakan kekerasan dan eksploitasi.
  4. Kegagalan Institusi: Kampus dan organisasi kemahasiswaan memiliki tanggung jawab untuk memastikan keamanan dan keselamatan para anggotanya. Namun, dalam kasus ini, terlihat adanya kegagalan institusi dalam mencegah dan menangani tindakan kekerasan, serta dalam memberikan perlindungan bagi maba.
  5. Dinamika Hukum: Kasus ini juga menunjukkan kompleksitas hukum dalam menangani praktik kekerasan dalam kegiatan pengkaderan. Seringkali, regulasi yang ada tidak memadai atau tidak diterapkan secara konsisten, sehingga pelakunya lolos dari jeratan hukum.

 

Pandangan sosiologi hukum menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan ini, di antaranya:

Penguatan Budaya Anti-Kekerasan: Kampus dan organisasi kemahasiswaan perlu membangun budaya anti-kekerasan dan saling menghormati melalui edukasi, sosialisasi, dan penegakan aturan yang tegas.

Demokratisasi Organisasi Kemahasiswaan: Struktur organisasi kemahasiswaan perlu diubah agar lebih demokratis dan transparan, dengan mekanisme kontrol dan akuntabilitas yang jelas.

 

Peningkatan Perlindungan Maba: Perlu dibuat mekanisme pelaporan dan perlindungan yang mudah diakses bagi maba yang mengalami kekerasan atau pelecehan.

 

Penegakan Hukum yang Tegas: Aparat penegak hukum perlu bertindak tegas dan adil dalam menangani kasus kekerasan dalam kegiatan pengkaderan, tanpa pandang bulu.

 

Reformasi Regulasi: Diperlukan regulasi yang lebih komprehensif dan tegas untuk mengatur kegiatan pengkaderan mahasiswa, dengan fokus pada pencegahan kekerasan dan perlindungan hak asasi manusia.