Minimnya Dokter Bedah Saraf Indonesia Di Rumah Sakit Daerah 3T Indonesia Timur

Berita Kampus1656 Dilihat

KINIGORONTALO.COM – Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo menggelar diskusi panel Nasional mengenai “Percepatan Pengembangan Pelayanan Dokter Spesialis di Rumah Sakit Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T) Indonesia Timur”, yang dilaksanakan di Hotel Grand Q Gorontalo, pada pukul 19.30-23.00 WITA. Agenda ini diadakan untuk mengisi daerah yang belum terdapat dokter bedah saraf pada rumah sakit. Sabtu (25/11/2023).

 

Acara ini dimoderatori oleh dr. Rachmat Andi Hartanto, Sp.BS,Subsp.N-Onk (K), selaku ketua program studi bedah saraf FK-KMK UGM.

 

Kegiatan ini dihadiri oleh Dirjen Kesehatan RI, Kepala Dinas Kesehatan, Ketua Divisi 4 DPRD Gorontalo, Ketua BPJS Gorontalo, Guru Besar Bedah Saraf FK UNAIR, Kepala Departemen Ilmu Bedah Saraf FKUI/RSCM Jakarta.

Kepala IDI Gorontalo, Dokter Andi memaparkan materi mengenai masalah pelayanan dokter bedah saraf yang masih minim di daerah Indonesia Timur. Dokter Andi pun paparkan daerah mana saja yang masih minim dokter bedah saraf, seperti Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Papua Barat. Sebab masih kurangnya antusias generasi muda untuk mendaftarkan diri menjadi dokter bedah saraf.

 

“Mengapa harus bedah saraf, karena hanya dokter bedah saraf yang mengerti seluruh

sistem yang ada di tubuh manusia” ujar Dokter Andi.

 

Dengan adanya dokter dan residen yang memiliki peluang menjadi dokter terbaik, maka skema pelayanan yang baik akan berjalan dengan sendirinya.

 

Dari pembahasan mengenai dokter saraf yang masih minim, adanya alasan lain yang menyebabkan kurangnya antusias menjadi dokter bedah saraf, seperti jam kerja yang tidak efisien, kurangnya peralatan kesehatan yang memadai, insentif lembur bagi dokter, dan biaya pendidikan yang sangat mahal.

 

“beasiswa yang tersedia bagi anak-anak yang membutuhkan biaya pendidikan untuk menjadi dokter sudah dapat diwujudkan melalui beasiswa LPDP dan beasiswa Kemenkes. Namun nyatanya kuota beasiswa tidak terpenuhi hingga saat ini, dari kuota yang tersedia sebanyak 2000/ tahun”, ujar Dokter Hassan.

 

Dokter bedah saraf yang terdapat di Indonesia hanya 492, dan hanya 1 yang berada di Gorontalo tepatnya di RSUD Aloei Saboe. Kurangnya pelayanan yang ada disebabkan ketersdiaan dokter yang terbatas, mengakibatkan melonjaknya pasien BPJS yang tidak ditangani.

 

Tidak hanya itu alasan ini menjadikan pasien-pasien tersebut banyak merenggang nyawa

dirumah sakit sebelum ditangani.

 

“Banyak dokter yang sudah lulus namun belum bisa terjun kelapangan jika belum menyelesaikan uji kompetensi wajib 1 tahun sebelum kerja dan melanjutkan pendidikan sebagai spesialis”, ujar Dokter Nunu.

 

Adanya hambatan yang menyebabkan minimnya dokter bedah saraf karena belum adanya SIP (Surat Izin Praktek) yang mereka dapatkan. Bukan hanya namun pemikiran masyarakat yang masih mengandalkan urut sebagai penyembuh masalah saraf mereka, menjadikan kurangnya antusias mereka menjadi dokter bedah saraf. Solusinya dengan adanya pendekatan pada masyarakat dan tambahan pengetahuan atau ajakan kerja sama yang dilakukan dokter bedah saraf, pada tukang urut dan masyarakat.